Kisah Lirih Seorang Santri
Oleh: Endang Yusro
Alhamdulillah akhirnya rampung juga menyelesaikan sebuah catatan di tengah beberapa aktivitas yang sarat makna, mulai dari mengatur dan menata administrasi sekolah, menemani dan mendampingi peserta didik dan teman-teman pendidik di sekolah dari pagi hingga siang terkadang hingga sore hari.
Lalu proyek penerjemahan bahasa Jaseng (Jawa Banten), kemudian mempersiapkan dan menemani teman-teman Ikatan Guru Sertifikasi Sekolah Swasta Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (IGSSS-PLPG) se Indonesia melakukan audiensi dengan Komisi 10 Anggota DPR RI pada tanggal 6 Februari 2025.
Awalnya sempat terhenti keinginan untuk meneruskan catatan ini, namun setelah konsultasi dengan beberapa kawan terutama dari pengacara karena khawatir terkait masalah hukum penulis berhati-hati.
Namun sang kawan dari satu ikatan kecendekiawanan ternyata mengizinkan dengan catatan ada taklimat (saran) kepada pihak pesantren, mungkin agar tidak terulang lagi kejadian serupa.
“Menurut saya sih, sebagai bentuk pembelajaran, nggak apa2 kok dipublish…
Mungkin utk pembelajaran juga, perlu ditambah sedikit (1-2 paragraf) yg terkait kewajiban yg harus dilakukan oleh pengasuh pondok (ustad/mudabir) utk tindakan emergency bila ada hal yg terjadi diantara para santri-nya.”
Setelah melakukan konsultasi dengan sang kawan yang juga pengacara, akhirnya saya mantap untuk meneruskan tulisan. Dengan harapan semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua, baik kami sebagai orang tua korban, orang tua-orang tua yang menjadi pelaku, maupun pihak pondok pesantren.
Terutama kepada pondok pesantren, jika tidak ingin ada pemberitaan miring, negatif semoga catatan kecil ini menjadi cermin agar bisa lebih melangkah dengan hati-hati dan bijak mengambil sikap.
Sekedar sama-sama mengingatkan karena penulis juga sempat mengelola ponpes, bahwa ponpes merupakan lembaga pendidikan yang berbasis agama, membawa nama baik agama (baca, Islam).
Oleh karena itu segala hal-ihwal yang berkaitan dengan santri akan menjadi sorotan. Tidak bisa melakukan tindakan (seperti, menghukum santri yang berlebihan) dengan dalih membentuk mental santri, tapi justru hal tersebut malah melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
Orang tua menitipkan pendidikan di pesantren salah satu tujuannya adalah untuk membentuk mental anaknya agar bisa hidup mandiri, tidak manja. Namun yang terjadi malah mental anak menjadi down karena mendapati hukuman dari guru atau ustadz pengabdian yang masih relatif muda, belum lagi perlakuan dari teman seangkatan atau kakak kelasnya.
Menjadi pendidik, pengasuh, pembina dan pemilik pesantren memang tidak mudah karena membawa marwah agama. Tidak seperti lembaga pendidikan pada umumnya yang jika terjadi kesalahan dalam mendidik maka yang menanggung hanya pihak-pihak terkait. Namun jika terjadi pada pesantren karena membawa agama, maka akan bersinggungan dengan umat agama yang diusungnya (umat Islam).
Anakku Sayang – Anakku Malang

Namanya lengkapnya Salman ‘Ibadurrahman, putra sulung penulis. Kami di keluarga biasa menyebutnya dengan Kang Salman (سَلْمان) dari kata salima (سَلِمَ) – yaslamu (يَسْلَمُ) yang berarti selamat. Ini juga bermakna, manusia yang selamat.
Tambahan kata “kang” merupakan sebutan untuk adik-adiknya yang dalam bahasa Jaseng (Jawa Banten) berarti kakak, abang, akang.
Sementara nama belakang yang menyertainya, “‘Ibadurrahman” dengan tanda apostrof (koma di atas) di depan huruf “i” untuk menyebut huruf “ain” dalam Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yakni ‘ibad yang berarti hamba dan ar-Rahman yang berarti Maha Pengasih.
Dengan demikian, Salman ‘Ibadurrahman berarti manusia yang selamat adalah yang mengabdi kepada Dzat Yang Maha Rahman, Allah Swt. Dan selain itu, nama belakang ‘Ibadurrahman juga sebagai bentuk kepatuhan kepada tradisi budaya Sunda tempat kelahiran sang Ummi (ibu) yang berasal dari Bandung.
Jadi dengan maksud menjaga tradisi masyarakat Sunda yang memberi nama anak cucunya dengan pengulangan kata, seperti: Irat Suirat, Didin Hafidhuddin, dll. Namun juga tetap dalam bingkai Islami maka munculah nama Salman ‘Ibadurrahman.
Dan kini, anak yang tidak biasa bersitegang dengan lawan mainnya itu sedang beristirahat untuk beberapa hari setelah insiden setrika panas bekas teman kakak kelasnya menyetrika pakaian dan diletakkan di lengannya dalam posisi tertidur yang menurut pelaku tidak tau ada orang (Salman, pemilik setrika) sedang tidur di kasur. Padahal saat itu waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, waktunya para santri tertidur.
Penulis diberi tau kondisi lengan anak melepuh setelah 2 hari pasca insiden tersebut, yakni kejadian di malam Kamis (29/1/2025) dan baru diberi kabar malam Sabtu (31/1/2025) yang padahal menurut dokter yang memeriksa mestinya langsung dibawa ke dokter khawatir kena infeksi. Namun entah kenapa kami baru diberi tau dua hari setelahnya.
Penulis membayangkan derita yang dirasa sang anak di tengah kegundahannya menerima perlakuan teman-temannya. Maklum Salman adalah anak yang suka mengalah, tidak mau berebut, apalagi adu mulut seperti perlakuan teman-temannya.
Jangkan sama orang lain (teman-temannya) lha wong sama adik-adiknya saja tidak suka berebut. Baginya lebih banyak mengalah. Membayangkan pula penderitaannya saat terkena setrika panas di kala sedang pulas tidur.
Penulis sempat bertemu sama santri, kakak kelasnya yang menjadi pelaku pada kegiatan tersebut dan pertemuan itupun atas inisiatif dari penulis bukan itikad dari pesantren. Lalu dengan didampingi petugas kesehatan yang masih usia belia (ustadz pengabdian, lulusan SLTA) sang pelaku kakak kelas menghadap dan meminta maaf, dan penulis pun memaafkan atas perlakuan yang menurutnya tanpa sengaja.
Namun rupanya hati kecil penulis belum menerima, bukan pada perlakuan kakak kelasnya tersebut. Hati kecil penulis menyayangkan dengan sikap pesantren yang seolah menganggap hal tersebut sepele.
Di tengah kegundahan tersebut mesti mengadukan hal ini ke siapa karena sebelum kejadian ini akses melakukan konfirmasi dan konsultasi seakan tertutup. Minta nomor pihak berkepentingan saja susah, apalagi para petinggi Ponpes yang diisi oleh keluarganya.
Akhirnya penulis berpikir menghubungi salah seorang rekan yang kebetulan menjadi tenaga pendidik di Ponpes tersebut. Termasuk mendapatkan nomor kontak Wakasek Kesiswaan juga darinya.
Penulis ceritakan kondisi sang anak dan meminta tolong untuk menyampaikan kepada pihak yang berwenang (bertanggung jawab) yang sebelumnya penulis meminta maaf karena kepada siapa lagi penulis mesti berbagi kepada pihak Ponpes.
Setelah itu, sepertinya sang teman meneruskan ke pihak yang berwenang entah japri atau melalui grup WA. Sebagai bukti setelahnya baru pihak pesantren melalui Kesiswaan menelpon, dan menyatakan baru tau beritanya. Sungguh ironis yang berkaitan dengan siswa baru tau kejadian setelah ada informasi dari wali murid/santri yang menjadi korban.
Mengakhiri percakapan melalui telepon, penulis menyampaikan agar orangtua pelaku diberi tau. Penulis menyampaikan seperti juga kepada Wali Kelas Salman bahwa apa yang dilakukan, pertama, agar sang anak yang menjadi korban merasa masalahnya diperhatikan oleh orangtua dan pihak pesantren, merasa ada tempat perlindungan dan ini sedikitnya akan mengembalikan mentalnya yang rapuh akibat insiden tersebut.
Kedua, menjadi pembelajaran bagi pelaku bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain dan beresiko mendapatkan hukuman. Perlakuannya itu tidak dibenarkan, berbeda jika dibiarkan seakan tidak terjadi apa-apa. Jika seperti ini bisa jadi kejadian akan terus berulang dan yang rugi Pesantren (Yayasan) sendiri.
Kemudian, pada setiap pengaduan tidak lupa penulis meminta maaf jika ada perkataan yang tidak berkenan, hal ini dilakukan demi kebaikan bersama. Sepertinya ada komunikasi antara pihak Pesantren melalui Wakasek Kesiswaan dengan orangtua pelaku.
Sang Wakasek pun malam-malam chat yang baru dibaca paginya sama penulis. Pernyataannya meminta jika diperbolehkan untuk mengirimkan nomor kontak penulis kepada orangtua pelaku. Penulis pun mengatakan, “Silahkan, Pak!” Penulis berpikir akan ada telepon dari orang tua pelaku, namun hingga kini belum ada.
Mengakhiri cerita, penulis ungkapan beberapa pekerti sang Anak, Salman ‘Ibadurrahman yang tetap menyembunyikan rasa sakit di depan adik-adiknya. Sang kakak tetap membantu pekerjaan Ummi-nya, menyediakan dan menyuapkan makan adik-adiknya di tengah sakit yang dirasa.
Sang anak menulis surat terakhir setelah kejadian. Seperti biasa mengawalinya dengan salam, kemudian menanyakan kabar dan harapan. Harapan terbaik untuk kedua orangtuanya. Meski dirinya dalam keadaan sakit, namun tidak langsung menuliskan keluhan atas sakitnya. Kabar sehat kedua orangtuanya adalah harapan bagi kesembuhannya.
Ungkapan pada akhir catatan ini, penulis kemukakan sebagai bentuk “kadeudeuh” penulis atas keinginan (pindah) dan karakter mengalah sang anak dengan keinginan dan harapan penulis.
Dari gambaran kondisi di atas, penulis menyampaikan beberapa masukkan demi kebaikan Pondok Pesantren demi kebaikan bersama, yang dari awal penulis berharap besar terhadap pendidikan sang buah hati.
Ponpes tidak menganggap sepele kejadian, lebih baik menganggap setiap kejadian yang menimpa santri adalah sebuah masalah besar yang mesti segera ditangani karena bagaimanapun orang tua menitipkan anaknya dengan jaminan keselamatan. Dengan demikian nama Ponpes tetap terjaga baik.
Mengadakan kontrol yang maksimal terhadap kegiatan santri yang membahayakan, tidak cukup mengandalkan ustadz pengabdian yang minim pengalaman dan secara emosional juga belum terlatih.
Alih-alih membimbing malah ikut merundung (mem-bully). Terlebih pada malam hari kontrol lebih dimaksimalkan. Ustadz pengabdian sifatnya membantu (asisten) bukan mengemban tugas pokok.
Memfasilitasi sarana yang tidak mesti disediakan oleh santri sendiri karena membahayakan keselamatan, seperti setrika, gunting, macam-macam obat karena menurut laporan saat kejadian korban (sang anak) diberi odol yang menurut dokter tidak boleh.
Jika terjadi sesuatu yang membahayakan, mengancam keselamatan santri, segera menghubungi walinya. Menelepon, jika tidak terhubung melalui chat sehingga ada informasi dan Ponpes tidak disalahkan.
Menyediakan nomor kontak khusus pengaduan yang setiap saat bisa terhubung.
Dan menutup catatan ini, penulis memohon maaf jika apa yang sudah Aby lakukan salah. KepadaMu ya Allah bimbing dan berikan kekuatan kepada kami dalam menjaga amanahMu.
Serang, 9 Februari 2025
Tinggalkan Balasan