Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Banten.
amalinsani.org. Tanggal berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Organisasi yang didirikan kaum terpelajar Jawa ini dianggap sebagai tonggak pergerakan Indonesia merdeka. Isu utama yang mereka lawan adalah diskriminasi kaum penjajah Belanda terhadap pribumi, terutama dalam bidang pendidikan. Akses pribumi terhadap pendidikan sangat terbatas, hanya tingkat dasar, sedangkan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi hanya diperuntukkan bagi kaum Priyayi.
Respon masyarakat pribumi terhadap kebijakan pendidikan yang diskriminatif itu adalah dengan mendirikan sekolah rakyat dan madrasah di lingkungan Pondok Pesantren. Kemudian berdirilah organisasi kemasyarakatan yang fokus dalam bidang pendidikan, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Al Khairiyah, Nahdhatul ulama, Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam, Al Khairat, Al Irsyad, Al Washliyah, Nahdhatul Wathon, dan lain lain.
Organisasi ini menyelenggarakan satuan pendidikan berbasis masyarakat, baik berhaluan kebangsaan maupun keagamaan. Organisasi ini menumbuhkan sikap patriotisme, cinta tanah air, bela negara, dan semangat jihad memperjuangkan Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, sekolah Belanda menjadi sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah dan organisasi kemasyarakatan tersebut terus menjalankan misinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyelenggarakan satuan pendidikan swasta.
Keadilan Anggaran
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan untuk sekolah/madrasah negeri, sedangkan sekolah/madrasah swasta dikelola dan dibayai oleh masyarakat secara mandiri. Hal itu terjadi karena alasan keterbatasan anggaran. Maka, pasca reformasi 1998 dilakukan amandemen UUD Negara Republik Indonesia terutama pasal 31 tentang pendidikan.
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Berdasarkan pasal 31 UUD 1945, khususnya ayat 2 dan 4 di atas, maka ditetapkan undang-undang Sisdiknas no 20 tahun 2003 dan kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS) yang menghapuskan diskriminasi anggaran. Semua warga negara yang terdaftar sebagai peserta didik di satuan pendidikan, negeri maupun swasta, semua mendapatkan bantuan yang sama, tanpa diskriminasi.
Menteri yang sangat berjasa menghapuskan perbedaan sekolah di lingkungan dinas pendidikan dan madrasah di lingkungan kantor kementerian agama adalah Prof. Dr. Malik Fadjar. Beliau Mentri Pendidikan yang juga pernah menjabat Menteri Agama. Sedangkan yang berjasa menghapuskan diskriminasi anggaran satuan pendidikan milik pemerintah dan swasta adalah Prof. Dr. M. Nuh. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mencerdaskan kehidupan bangsa dengan kewajiban membiayai pendidikan dasar seluruh warganya, tanpa kecuali.
Kembalinya Pelanggaran HAM Berat.
Kebijakan penghapusan diskriminasi anggaran antara sekolah dan madrasah, serta satuan pendidikan milik pemerintah dan swasta terkoyak oleh politisi lokal atas nama otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan konstitusi pasal 31 ayat 4 dan kewenangannya, yakni PAUD dan pendidikan dasar untuk Pemerintah Kabupaten/Kota, dan SMA/SMK/SKh untuk Pemerintah Provinsi, sebagian pemerintah daerah memberikan bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA). Namun, pelaksanaannya bersifat diskriminatif. Pemerintah daerah hanya mensubsidi sekolah yang ada dalam kewenangan dinas pendidikan, sedangkan Madrasah terabaikan. Bahkan sekolah di lingkungan dinas pendidikan pun, tidak termasuk sekolah swasta.
Kebijakan yang diskriminatif itu kemudian dikoreksi. Setelah ada koreksi, sekolah swasta juga menerima bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA) tapi nilai nominalnya sangat rendah dibandingkan dengan sekolah milik pemerintah. Apa akibatnya? Semua orang bersaing berebut masuk sekolah negeri yang digratiskan dan tidak tertarik masuk sekolah swasta yang berbayar. Dalam persaingan itu, anak orang kaya yang rumahnya dekat sekolah diterima masuk sekolah negeri, sedangkan anak dari keluarga miskin dipaksa masuk sekolah swasta yang berbayar. Di sini telah terjadi pelanggaran HAM berat, yakni diskriminasi anggaran. Subsidi negara salah sasaran dan sekolah swasta secara perlahan tapi pasti mulai tutup karena tidak mendapatkan siswa baru yang memadai.
Praktek ketidakadilan dalam bidang pendidikan diperlihatkan oleh sikap feodal politisi lokal. Misalnya, ambisi mendirikan sekolah negeri, padahal syarat ketentuan yang berlaku tidak dijalankan. Mulai syarat lahan, bangunan, pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus tetap (bukan honorer), dan kecukupan fasilitas lainnya. Juga harus mempertimbangkan keberadaan suatu pendidikan swasta yang sudah beroperasi di lingkungan tersebut.
Inilah yang kemudian memicu perilaku koruptif dalam pengadaan lahan dan nepotisme dalam pengangkatan pegawai. Maka, momentum hari kebangkitan Nasional ke-114 ini harus saling mengingatkan untuk bangkit tanpa diskriminasi. Lebih baik mendukung partisipasi dan kontribusi masyarakat dengan memberikan insentif bagi satuan pendidikan berbasis komunitas, daripada memaksakan diri mendirikan sekolah negeri di lingkungan yang sudah berdaya.
Wallahu a’lam