Tokoh Ulama Pejuang Perempuan dan Ibu Para Yatim
OleH : Ratu Nizma Oman
“Tetaplah mempertahankan kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. dan sabar dalam perjuangan. Hanya dengan itulah kita akan mencapai kebahagiaan dan kemuliaan.”
(Ratu Iyot Hasanah Binti Syekh Asnawi Agung Caringin al-Bantani).
Putri Seorang Ulama Besar
Ratu Hasanah, biasa dipanggil Ibu Iyot adalah putri ketiga dari seorang ulama besar yang paling berpengaruh pada abad 20 yakni seorang yang mendapat predikat sebagai Waliyullah bernama Syekh Asnawi Agung Caringin al-Bantani. Ayahnya juga masih keturunan langsung dari Kanjeng Sulthan Agung Mataram. Ibunya bernama Ratu Halimah, yang juga seorang ahli agama dan putri seorang ulama besar. Masih keturunan dari Kanjeng Sulthan Maulana Hasanuddin Banten. Darah ulama dan darah bangsawan mengalir di tubuhnya. Ratu Iyot Lahir diperkirakan sekitar tahun 1889 M.
Ratu Iyot sejak kecil belajar agama Islam dan dididik secara religius. Sebagaimana orangtuanya beliau pun anak yang sangat cerdas dan sejak kecil sudah hafal Al-Qur’an. Ayahnya Syekh Asnawi tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Semua anaknya harus bisa mengaji, membaca kitab dan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama. Apalagi ketika itu bangsa pribumi sedang dijajah oleh bangsa asing yakni pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu cita-cita kemerdekaan sangat tertanam dalam sanubari para putra-putri bangsa. Mereka pun belajar dengan sungguh-sungguh supaya kelak bisa mengusir penjajah dari tanah airnya. Begitu pun kaum perempuannya sangat gemar belajar terutama mereka putri para ulama terpandang biasanya sangat besar memiliki kesempatan untuk mempelajari ilmu lainnya selain di dapur. Namun begitu, Ibu Iyot juga sangat terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Turut Mengembara di Negeri Para Nabi
Pada tahun 1910, Ratu Iyot Kemudian dinikahkan dengan salah satu murid kesayangan ayahnya yang sangat cerdas, shaleh dan memiliki kharisma seorang sosok pembaruan, yaitu Tb. Achmad Chatib bin K.H. Tb. M. Wasi al-Bantani. Putra dari seorang ulama terpandang dan saudagar dari Gayam Pandeglang.
Pada tahun 1912, Syekh Asnawi mengajak keluarganya, para mantu beserta pembantu-pembantunya untuk berangkat menunaikan ibadah Haji ke Mekkah dan rencananya akan bermukim disana. Ratu Iyot dan suaminya ikut dalam perjalanan itu. Jumlah yang ikut sebanyak 16 orang. Saat itu ibu Iyot sedang hamil tua. Sesampainya di Makkah, ibu Iyot melahirkan anak pertamanya yaitu seorang perempuan.
Namun tak lama setelah itu, kota Mekkah dilanda perang saudara. Tepatnya pada tahun 1914, terjadi pemberontakan Arab terhadap pemerintahan Islam yang sah yaitu Kekhalifahan Turki Usmani. Keadaan di tanah suci sangat genting dan ada wabah penyakit. Rakyat menderita dan kelaparan termasuk Keluarga Syekh Asnawi sampai harus antri untuk mendapatkan jatah ransum. Akhirnya pemerintah Arab yakni Syarif Mekkah pada masa itu, mengultimatum agar warga dari luar untuk segera pulang ke negara asalnya. Karena situasi di kota Mekkah sedang tidak aman.
Keluarga Syekh Asnawi yang tadinya akan tinggal di Mekkah, terpaksa dengan berat hati harus pergi meninggalkan tanah suci. Mereka pun kemudian pergi melalui jalur darat. Tidak bisa berlayar naik kapal sebab lautan dipenuhi ranjau yang berbahaya. Saat itu juga sedang terjadi Perang Dunia ke I.
Mereka pun mulai melakukan pengembaraan dengan berjalan kaki dan menaiki kuda serta hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya untuk menyebrang hingga sampai ke tanah air. Konon perjalanan itu memakan waktu selama lebih dari tiga tahun. Selama perjalanan banyak penderitaan yang dialami. Mereka kehabisan bekal dan uang. Sehingga yang laki-laki kemudian bekerja apa saja. Mulai dari kuli, pegawai rendah dan pengajar. Mereka melewati negara-negara di timur tengah, mulai dari Mekkah ke Yaman dan seterusnya. Tak ingin melewatkan kesempatan itu, jika mereka singgah maka selain bekerja untuk bekal dan makan sehari-hari, berguru juga kepada para ulama yang dijumpainya di negeri-negeri para Nabi itu.
Sesampainya di India, Syekh Asnawi karena kepandaiannya mengaji kemudian mendapat tawaran mengajar di sebuah madrasah bersama dengan menantunya Ki Achmad Chatib, suami ibu Iyot.
Ibu Iyot sendiri sambil membawa sang bayi yang digendongnya ikut berkelana. Namun tak sedikitpun beliau mengeluhkan hal itu. Kesempatan itu pun tidak dilewatkannya untuk belajar memperdalam ilmu agama kepada suami dan ayahnya sambil mengasuh bayinya dan membantu menyiapkan makanan untuk keluarganya. Mereka pun tinggal di tenda seperti layaknya musafir yang sedang mengembara.
Makanan pun sangat terbatas namun konon berkat karomah sang kakek, makanan itu selalu cukup walaupun sedikit dan dibagikan kepada keluarganya yang saat itu jumlahnya cukup banyak sekitar 16 orang. Apalagi ibu Iyot memiliki bayi namun sang bayi tidak rewel dan tampak tenang serta sehat saja.
Berperang di Garda Depan
Pada tahun 1926 ketika terjadi perlawanan rakyat terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dipicu oleh krisis ekonomi, pajak yang tinggi dan hak beribadah dibatasi. Rakyat Banten bersama para pejuang yang tergabung dalam pasukan Laskar Mujahidin yang berpusat di daerah Labuan Caringin, tempat tinggal ibu Iyot. Sedangkan Ayah dan suaminya serta saudara laki-lakinya adalah tokoh sentral dan pucuk pimpinan dari pemberontakan itu.
Ibu Iyot pun ternyata menjadi incaran musuh. Sebab beliau adalah isteri seorang pemimpin pemberontak yang paling dicari Belanda. Ketika pada tengah malam, saat beliau dan kedua anaknya yang masih kecil sedang tidur, beliau terbangun merasakan kepanasan dan melihat api yang sangat besar masuk ke dalam rumahnya. Mereka akan dibakar hidup-hidup oleh tentara kolonial Belanda yang kejam. Untungnya mereka bisa menyelamatkan diri. Ibu Iyot yang anak seorang ulama dan pendekar tentunya dibekali ilmu beladiri selain ilmu agama dan keterampilan lain. Namun hal ini menimbulkan traumatis pada ibu dan anak-anaknya dikemudian hari.
Belanda panik karena tidak bisa menangkap para pejuang. Kemudian mereka membabi buta membantai warga. Sehingga para pejuang menyerahkan diri untuk sementara karena tidak ingin menyusahkan rakyat namun kemudian mereka ditangkap dan dibuang ke tempat yang jauh.
Ibu Iyot dan kedua anaknya yang masih kecil pun turut diasingkan bersama keluarga Syekh Asnawi ke Cianjur selama tiga setengah tahun. Sedangkan suaminya dibuang ke pulau yang lebih seram dan mengerikan serta banyak buayanya yaitu pulau Boven Digoel Papua, pulau yang sangat jauh tanpa ada kejelasan.
Setelah 17 tahun lamanya berpisah dengan sang suami akhirnya dapat berjumpa kembali. Sedangkan ayah mereka Syekh Asnawi sang pemimpin dan ruh perjuangan telah tiada pada tahun 1937. Namun perjuangan harus berlanjut. Ibu Iyot pun turut berperang di garda depan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Beliau tak pernah gentar sedikitpun.
Pada tahun 1948, ketika suaminya kemudian menjabat sebagai Residen Banten Pertama setelah berhasil merebut kemerdekaan pada tahun 1945. Belanda datang lagi melalui agresinya dan kembali memerangi para pejuang. Ibu Iyot pun diciduk kembali dan dijebloskan ke dalam Penjara terlebih dahulu sebelum kemudian menyusul putra dan menantunya, Tb. Suchari Chatib dan Ayip Dzukhri. Betapa terkejutnya mereka melihat ibu mereka di dalam penjara. Tempat itu penjara para tahanan penting dan ada ruang penyiksaan yang mengerikan. Namun sang Ibu adalah seorang perempuan yang tangguh dan sabar dalam perjuangan.
Banyak yang mati disiksa tapi Keluarga Achmad Chatib sudah diperintahkan jangan sampai dibunuh hanya sebagai tawanan dan jaminan saja.
Setelah tujuh bulan lamanya akhirnya dapat kabar Kebebasan Ibu Iyot dan kedua putranya. Rupanya pemerintah Jepang membebaskan mereka atas jaminan Bapak Achmad Chatib, suami dan ayah yang pastinya dengan sekuat tenaga akan selalu melindungi keluarganya meski perjuangan harus terus berjalan.
Konon beliau pernah ikut mengungsi (ngeli) bersama keluarganya yang perempuan, cucu dan masyarakat Banten ke gunung yang sangat jauh dan dikawal oleh beberapa tentara dan pejuang. Mereka berjalan kaki hingga ratusan kilometer melewati hutan-hutan rimba. Ibu Iyot sambil menggendong cucunya kemudian kelelahan dan duduk diatas batu hitam. Namun tak lama batu itu bergerak dan ternyata bukan batu melainkan seekor ular hitam raksasa yang sedang tidur melingkar. Betapa terkejutnya saat itu namun kemudian sang ular itu pergi begitu saja masuk ke dalam semak belukar. Konon kisah ini menjadi terkenal di kalangan masyarakat Banten. Hal itu membuktikan ibu Iyot, putri seorang Waliyullah dan isteri sang residen pemimpin perjuangan rakyat Banten, memiliki kharisma seorang pejuang dan ulama perempuan yang sangat kuat dan disegani.
Ketika terjadi perang di Ciomas, beliau pun langsung membuka dapur umum dan posko pengobatan bagi para pejuang yang terluka. Bersama putrinya dan para kaum wanita lainnya. Beliau menggerakkan kaum wanita untuk membantu dalam perang dan tidak hanya berdiam di rumah menyaksikan para suami dan anak laki-laki mereka ditangkap satu persatu. Itulah kepribadian seorang Ibu Banten sejati.
Ulama Pejuang Perempuan : Ibu Banten Pertama
Pada tahun 1945, Bapak Achmad Chatib diangkat menjadi Residen Banten Pertama oleh Presiden Soekarno setelah mendapat persetujuan dari masyarakat Banten. Ibu Iyot otomatis menjadi isteri seorang residen dan pindah dari Caringin ke Serang tempat suaminya bertugas. Namun baik sang suami maupun ibu Iyot jarang ada di gedung keresidenan Karena hampir setiap hari mereka selalu terjun ke lapangan. Melihat rakyat dan mendengarkan aspirasi mereka.
Kegiatan Ibu Iyot semakin bertambah. Beliau juga sebelumnya sudah terbiasa aktif mengurus masyarakat ketika masih bersama ayahnya di kampung halaman. Ketika suaminya membuka kawasan Kesulthanan Banten yang sebelumnya tidak terurus akibat perang dan pernah terkena tsunami dahsyat pada tahun 1883 M. Kawasan Kesulthanan Banten mulai dibuka dan dibersihkan secara gotong royong. Ibu Iyot juga membuka dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para pekerja disitu.
Karena kepeduliannya itulah maka orang-orang menyebutnya sebagai Ibu Banten. Beliaulah Ibu Banten Pertama di era kemerdekaan republik Indonesia. Tugas beliau selain mendampingi sang suami. Beliau juga aktif sebagai pemimpin kaum wanita di Banten. Beliau yang juga seorang ahli agama, putri ulama besar yang berpengaruh, tentunya aktivitas beliau adalah mengurus dan membina masyarakat serta berdakwah menyebarkan syi’ar Islam.
Banyak yang menjadi muridnya baik dari pihak laki-laki dan perempuan. Beliau juga adalah Ibu para anak yatim Karena beliau turut memelihara anak yatim dan menyekolahkannya. Jika sudah lulus sekolah maka datang lagi anak-anak yatim yang baru dan begitu seterusnya. Mereka berasal dari Banten dan daerah lainnya. Sehingga ibu Iyot sebagai Ibu Banten dan seorang ulama pejuang perempuan sangat mengayomi masyarakat. Warga Banten dan sekitarnya sangat menghormati dan menyayanginya hingga akhir hayatnya.
Beliau kemudian wafat setelah melafalkan Tabarok (Alqur’an surat Al-Mulk) yang biasa beliau baca. Wafat pada tahun 1970 diusia 90 tahun dan dikuburkan di pemakaman Buah Gede Kaujon Serang. Salah satu makam para pahlawan Banten.
*Penulis adalah cicit dari Ibu Ratu Hasanah. Pegiat Literasi
WA. 082211689245
Tinggalkan Balasan