Dalam rangka Menyambut Ultah ICMI Ke-33
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Direktur PT. Republika Media Mandiri, Arys Hilman, menyampaikan pengumuman bahwa Koran Harian Republika akan dicetak terakhir kalinya pada 31 Desember 2022. Artinya, sejak 1 Januari 2023, Republika sudah tidak akan lagi dicetak.
Republika mulai dicetak dan beredar pada 3 Januari 1993. Pada saat itu, penulis kuliah semester dua di Prodi Filsafat IAIN SGD Bandung. Waktu itu, sebelumnya sudah beredar koran harian mainstream yang terlebih dulu populer; Kompas dan Media Indonesia.
Republika diproduksi dibawah perusahaan PT. Abdi Bangsa, perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Tidak aneh bila kemudian publik memahami dan mengidentikkan bahwa Republika adalah koran ICMI.
ICMI sendiri merupakan organisasi tempat berkumpulnya para cendekiawan muslim. Dibentuk pada 7 Desember 1990 di Kota Malang. Pada pembentukan untuk yang pertama kalinya itu, BJ. Habibie didapuk sebagai ketua umum.
Tahun 1990, penulis baru kelas dua PGAN Pandeglang. Sejak tingkat SLTA itu, penulis sudah mengikuti dan gandrung dengan dunia kecendekiaan. Itulah mengapa, ketika menjadi salah satu lulusan terbaik dari sekolah kami, penulis lebih memilih Prodi Filsafat dibanding kawan lain yang pilih jurusan “mainstream”.
Kehadiran Republika semakin meneguhkan keberadaan ICMI di negeri ini. Pada masa itu, ada tiga lembaga yang oleh masyarakat dianggap sebagai kekuatan sipil yang mampu dan bisa mengimbangi kekuatan pemerintah yang begitu dominan; LBH, Komnas HAM, dan ICMI.
Indonesia di tahun 90an, tidak seperti situasi Indonesia hari ini. Waktu itu, menjadi puncak kekuasaan Presiden Soeharto yang bisa bertahan hingga tahun 1998. Selama sekitar 32 tahun dia menjadi Presiden Republik Indonesia.
Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat luar biasa. Kehidupan demokrasi hanya kamuflase belaka. Lewat perangkatnya yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI, Soeharto mengendalikan negara menggunakan “tangan besi”.
Setiap suara rakyat yang kritis langsung dibungkam. Protes dan demo ditumpas. Kerap terjadi peristiwa kelaliman penguasa hingga merenggut hak rakyat, termasuk hak azasi manusia. Intel dan tentara berhadapan dengan rakyat lewat Kodam, Kodim, dan Koramil.
Partai politik yang menjadi sarana bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, dibatasi. Hanya ada tiga partai politik saat itu; Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Golkar menjadi parpol pemerintah.
Lha, bukankah pemerintah tidak boleh berpartai? Itu benar. Itu aturan sekarang. Dulu, Golkar mewajibkan ABRI dan PNS bukan hanya untuk memilihnya, tapi juga menjadi anggotanya, kadernya, dan pengurusnya. Jadi, tak heran bila Golkar dan Soeharto bisa bertahan hingga 32 tahun lamanya.
Negara dikendalikan oleh hanya 3 kelompok saja yang semuanya tergabung dalam Golkar. Dikenal dengan istilah jalur ABG. Kepanjangan dari ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Inilah yang kemudian melahirkan praktik KKN; Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Istilah dan praktek yang kami gugat ketika reformasi tahun 1998.
Sementara dua partai politik lainnya hanya berperan sebagai syarat belaka. PPP dan PDI tidak pernah menjadi kekuatan besar. Bila pun ada elemen masyarakat yang memiliki keinginan untuk mendirikan partai polirik baru sebagai wujud perlawanan, langsung dibungkam.
Jangan pernah berpikir untuk mengusulkan bakal calon presiden lain selain Soeharto. Jangankan mengusulkan, untuk sekedar mendiskusikannya saja, langsung dibungkam. Jauh-jauh hari sebelum Pemilu, Golkar dengan kekuatannya sudah mendaulat Soeharto untuk calon presiden periode selanjutnya.
Ingat Sri Bintang Pamungkas. Tokoh PPP yang kemudian pada tahun 1996 mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia, sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah. Waktu itu Soeharto tak terima. Dia dianggap subversif. Bukan hanya dipecat dari DPR RI, dia juga mendekam di penjara.
Ditengah cengkeraman rezim yang demikian menggurita, hanya Lembaga Bantuan Hukum atau LBH yang senantiasa tampil berani. Mereka merupakan sekumpulan para praktisi hukum yang senantiasa memberikan pendampingan terhadap rakyat. Peristiwa Kedung Ombo misalnya.
Lalu, muncullah ICMI tahun 1990. Kemudian dibentuklah Komnas HAM tahun 1993. Dalam perjalanannya, ketiga lembaga ini kerap membela kepentingan rakyat. LBH dengan bantuan hukumnya. Komnas HAM dengan pembelaannya atas rakyat. Serta ICMI dengan ide dan gagasannya.
Walau ICMI diketuai Habibie, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, keberadaannya cukup memberikan pengaruh besar terhadap keseimbangan regulasi pemerintah. Ia menjadi penyeimbang bagi pemerintah.
Tetapi karena disisi lain Habibie juga adalah bagian dari pemerintah, kiprah ICMI belum maksimal dalam memberikan pembelaan terhadap rakyat. Buktinya, untuk siap menjadi Ketua Umum ICMI saja, Habibie mesti menunggu restu Soeharto.
Sebagai strategi untuk menyuarakan nurani, kebenaran, dan penyeimbang atas kekuasaan rezim yang begitu menggurita, ICMI kemudian membuat sebuah perusahaan yang memproduksi koran. Maka, lahirlah koran Harian Republika.
Dibawah pemimpin redaksi Parni Hadi, lewat kolom opini di Republika, lahirlah ide dan gagasan cemerlang dari para penulis. Banyak diantara mereka yang menggunakan kolom ini sebagai media perjuangan dan perlawanan dengan cara menyuarakan pendapatnya.
Keberadaan Republika sangat berpengaruh terhadap oplah koran mainstream yang sebelumnya sudah ada; Kompas dan Media Indonesia. Banyak kalangan muslim beralih dan berlangganan koran Republika. Termasuk kami, mahasiswa muslim di perguruan tinggi Islam.
Republika kerap menjadi rujukan dan bacaan wajib kami. Terutama kolom opini itu tadi. Banyak diantara kami yang berkeinginan untuk bisa tampil di kolom opini Republika. Tulisan yang dimuat pada kolom itu menjadi standar kebanggaan para penulis.
Kami kerap berlomba membuat tulisan yang disertai harapan bisa tembus dan tayang di Republika. Tulisan berupa artikel yang ditayang di Republika itu terasa sangat bergengsi. Dan kenyataannya, banyak penulis-penulis yang kemudian menjadi besar dan terkenal karena Republika.
Dalam perjalanannya, ICMI dan Republika secara terus-menerus memberikan kontribusi yang sangat besar seiring dengan perjalanan sejarah bangsa. Pada saat tertentu seiring sejalan dengan rezim. Tetapi pada saat lain, dengan kritis dan sarat kecendekiaan menjadi pengkritik pemerintah.
Peristiwa reformasi tahun 1998 yang kemudian mengakhiri rezim Orde Baru, juga tidak terlepas dari peran ICMI dan Republika. Keduanya yang semula sangat berhati-hati dalam berpendapat, perlahan tapi pasti bermetamorfosis menjadi lembaga dan media kritis.
Kaum cendekiawan yang tergabung dalam ICMI dan menuangkan ide-idenya pada kolom opini di Republika, merupakan orang-orang kritis dalam bersikap dan bertindak. Mereka sarat idealisme. Mereka bersuara qulil haq walau kana murran.
Mereka adalah orang-orang kritis terhadap rezim Orde Baru. Ketidak-sepakatan dan wujud perlawanan mereka terhadap pemerintah, dituangkan dengan pena. Pemikiran-pemikiran mereka menjadi inspirasi dan menjadi faktor pendorong perubahan lewat peristiwa reformasi.
Para cendekiawan menggunakan Republika sebagai media untuk mengenalkan pemikirannya. Republika menjadikan para kontributornya menjadi penulis-penulis besar. Cendekiawan dan Republika menjadi dua sisi mata uang. Keduanya bersimbiosis-mutualis.
Jadi, bagi orang-orang yang mau dan mampu merawat ingatan, apalagi kaum cendekiawan, merindukan suasana Orde Baru di zaman Soeharto, dengan adagium “Piye kabare? Lebih enak zamanku too?” yang dimanifestasikan sebagai bentuk ketidak-puasan atas perlakuan rezim saat ini, bukan hanya sebuah kekonyolan.
Ia, selain amnesia atas perjalanan sejarah bangsa ini, juga sebagai bentuk tindakan yang mengkhianati pemikiran dan perjuangan para cendekiawan, yang telah secara gigih dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap rezim yang dzalim waktu itu.
Republika begitu mewarnai perjalanan bangsa menuju perubahan. Akhir tahun lalu, ia berkabar, akan pamit-undur. Teknologi berupa digitalisasi menjadi alasan. Walau dalihnya akan beralih ke format digital, harus diakui pamitan tersebut adalah pengibaran bendera putih.
Kompas dan Media Indonesia yang lahir lebih awal, hari ini tetap berkibar. Itulah mengapa, dalam sebuah group WhatsApp tempat berkumpulnya para cendekiawan, penulis berkomentar bahwa tutupnya Republika ini bukan hanya kekalahan perusahaan. Tapi juga kekalahan kaum cendekiawan.
Hari ini ICMI sedang merayakan ulang tahun yang ke 33. Usia yang sudah tak lagi remaja atau dewasa. Usia yang bagi sebuah organisasi para cendekiawan sudah lebih dari matang. Ditengah beragam persoalan kebangsaan, ICMI diharapkan bisa memberikan kontribusi yang solutif bagi masyarakat.
Apalagi tahun depan kita akan Pemilu. Hajat yang bisa menentukan arah dan nasib bangsa. Namun dalam perjalanannya banyak diwarnai oleh perseteruan yang tak jarang menimbulkan kubu-kubuan dan perpecahan. Ini menjadi tantangan bagi para cendekiawan.
ICMI punya tanggung-jawab moral untuk memberikan kontribusinya lewat ide dan pemikiran untuk turut menciptakan Pemilu yang bermartabat, dengan cara memberikan pencerahan lewat pendidikan politik kepada masyarakat.
Para cendekiawan diharapkan bisa berdiri ditengah untuk menyampaikan politik adiluhung, politik yang menjunjung kejujuran dan sportivitas. Politik yang menumbuhkan persaingan yang sehat, mendorong untuk menjadi yang terbaik, diantara yang baik, untuk mewujudkan kebaikan, dengan cara baik.
Bukan malah larut dan terjebak pada politik remeh-temeh, dengan memainkan identitas, politisasi agama, ujaran kebencian, dan penyebaran kabar bohong atau hoax. Apalagi hanyut dalam kebiasaan bully dan nyinyir hanya karena berbeda cara pandang. Kalau sudah begitu, cendekiawan hanyalah sebuah sebutan.
Selamat Ulang Tahun ICMI yang Ke-33.
Wallahualam.
*
Penulis adalah Sekretaris Bidang Literasi ICMI Orwil Banten