Dalam rangka menyambut pelantikan pengurus ICMI Orwil Provinsi Banten
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Yang disebut sebagai cendekiawan muslim itu, apakah orang Islam yang pakar dalam bidang ilmu dan pengetahuan keislaman, ataukah seorang yang menguasai suatu bidang atau disiplin ilmu tertentu, yang kebetulan beragama Islam?
Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia atau ICMI itu organisasi kemasyarakatan yang unik. Unik karena berbeda dengan organisasi lain. Lazimnya, organisasi itu memiliki pengurus dan anggota. Pengurus merupakan orang-orang yang memiliki tanggung-jawab menjalankan roda organisasi.
Sementara anggota merupakan bagian dari organisasi tersebut yang juga memiliki tanggung-jawab terhadap organisasi, namun tidak seperti pengurus. Biasanya, anggota merupakan “objek” dari program yang diselenggarakan oleh pengurus.
Organisasi kemasyarakatan dimaksud itu seperti Nahdhatul Ulama atau NU yang memiliki struktur pengurus mulai tingkat pusat hingga tingkat ranting. Ada Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Ranting. NU juga memiliki organisasi otonom yang memiliki kepengurusan tersendiri.
Atau seperti Muhammadiyah, yang juga memiliki kepengurusan di berbagai jenjang. Pengurus Pusat untuk tingkat nasional, Pengurus Wilayah untuk tingkat provinsi, Pengurus Daerah untuk tingkat kabupaten atau Kota, dan Pengurus Cabang untuk tingkat kecamatan.
Begitu juga dengan Mathlaul Anwar, Al-Khairiyah, Persatuan Islam, dan organisasi keislaman lainnya. Pun organisasi kemasyarakatan yang bukan berbasis keagamaan, seperti organisasi kepemudaan, organisasi profesi, organisasi perempuan, dan organisasi partai politik.
Organisasi-organisasi yang telah disebutkan diatas, memiliki pengurus dan anggota. Pengurus jumlahnya terbatas hanya pada orang-orang tertentu yang notabene adalah orang-orang pilihan. Sementara anggota merupakan warga biasa yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan.
ICMI tidak begitu. Organisasi ini tidak punya “anggota”. Semua anggota ICMI adalah pengurus. Pengurus di tingkat nasional disebut Pengurus Pusat, di tingkat provinsi dinamakan Organisasi Wilayah atau Orwil, dan di tingkat kabupaten atau kota disebut Organisasi Daerah atau Orda.
ICMI tidak punya anggota seperti ormas lain yang jumlah anggotanya banyak, ratusan, ribuan, belasan ribu, puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan. Mengapa? Karena setiap anggota ICMI adalah pengurus ICMI. Dan setiap pengurus ICMI otomatis adalah anggota ICMI.
Bila organisasi lain menerapkan “prosesi pendaftaran” untuk bisa diterima menjadi anggota, yang kadang diikuti dengan ritual “pengkaderan” secara berjenjang sebagai salah satu syarat diterima sebagai anggota, maka di ICMI tidak ada “pendaftaran calon cendekiawan”.
Dengan begitu, sejatinya ICMI merupakan organisasi elit. Elit karena keanggotaannya terbatas. Terbatas hanya terdiri dari para cendekiawan yang pakar atau ahli dalam berbagai bidang. Cendekiawan yang juga “kebetulan” beragama Islam. Makanya disebut cendekiawan muslim.
Dalam konteks ICMI, terminologi “cendekiawan muslim” itu bukan bermakna seorang pakar dan atau ahli yang mendalami masalah keislaman. Dalam khazanah keislaman, sosok demikian dikenal dengan terminologi mufti, ulama, kiai, dan atau ustad.
Cendekiawan muslim dalam ICMI merupakan sosok yang pakar dalam bidang ilmu dan pengetahuan tertentu. Dia tidak mesti menguasai perkara keislaman, seperti dalam bidang aqidah, theologi, filsafat Islam, ilmu kalam, ushul fiqih, fiqih, tasawuf, dan khazanah pengetahuan keislaman lainnya.
Karenanya tidak aneh bila kepengurusan ICMI -yang juga merangkap anggota itu- mulai dari tingkat pusat hingga Orda, banyak diisi dan dipegang oleh para pakar dari berbagai bidang, termasuk bidang yang tidak bersentuhan secara langsung apalagi melekat dengan khazanah pengetahuan keislaman tersebut.
Nama-nama seperti BJ. Habibie dan Adi Sasono, yang merupakan Ketua ICMI pada periode awal sejak berdirinya organisasi ini, merupakan sosok cendekiawan dalam bidang ilmu tertentu, yang juga merupakan pakar dalam bidang keislaman.
Ketika ICMI menerapkan model presidium dalam sistem kepengurusannya, aspek “pakar dalam bidang keislaman” ini sudah mulai bergeser. Muncullah nama-nama seperti Marwah Daud Ibrahim, Ilham Habibie, Sugiharto, dan yang terakhir Arif Satria.
Pakem bahwa pengurus -juga anggota- ICMI tidak mesti seorang pakar dalam khazanah keislaman juga berlaku di level Orwil dan Orda. Karenanya tidak aneh bila di tingkat provinsi serta kabupaten dan kota, ketua dan pengurus ICMI lainnya tidak mesti dipegang oleh seseorang yang akrab dengan dunia keilmuan Islam.
Itulah mengapa para sarjana ekonomi, keuangan, manajemen, sosial, politik, lingkungan hidup, statistik, bahasa, sastera, budaya, kebijakan publik, pendidikan, dan disiplin ilmu lainnya tergabung dalam organisasi ini.
Sejatinya, fenomena bergabungnya dan bersatunya disiplin ilmu dan para cendekiawan yang penulis sebutkan ini, dengan disiplin ilmu dan pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan counter terhadap dikotomi antara “pengetahuan Islam” dengan “pengetahuan umum”.
Narasi ini juga bermaksud menyampaikan bahwa dalam pandangan Islam tidak ada dikotomi antara dua bidang disiplin keilmuan tersebut. Karena cara pandang dikotomi ini akan melahirkan apa yang disebut sebagai sekularisasi; pemisahan perkara antara urusan agama dengan bukan agama.
Walau idealnya seorang yang disebut sebagai “cendekiawan muslim” merupakan sosok yang menguasai ilmu dan pengetahuan keislaman, tapi karena dalam pandangan Islam tidak ada dikotomi disiplin ilmu pengetahuan, maka sarjana berpengetahuan “umum” pun absah disemat sebagai cendekiawan muslim.
Jadi, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia sebagai organisasi elit sebagaimana disebutkan diatas, bukan hanya tempat berhimpunnya para pakar Islam di bidang keislaman saja. Tetapi juga tempat menyatunya para pakar dalam berbagai bidang, yang “kebetulan” beragama Islam. Wallahualam.
*
Penulis adalah Sekretaris Bidang Literasi ICMI Orwil Banten