Ocit Abdurrosyid Siddiq
amalinsani.org – Tak terasa, kita sudah berada di penghujung tahun. Tahun akan berganti lagi. Iya, tahun baru Hijriyah. 1 Muharram 1444 H. Tahun baru Islam.
Moment pergantian tahun yang biasa dirayakan malam hari, kerap disambut dengan rasa sukacita, yang diekspresikan dengan pesta, musik, makanan, serta cahaya.
Sukacita sebagai ekspresi kegembiraan yang biasanya disertai dengan komitmen dan harapan bahwa di tahun baru semuanya serba lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Resolusi atau janji yang dibuat pada diri sendiri untuk mulai melakukan sesuatu yang baik atau berhenti melakukan sesuatu yang buruk mulai dari hari pertama di tahun baru ini.
Berbeda dengan pergantian tahun baru Masehi yang disemarakkan dengan hingar-bingar pesta, kembang api, petasan, pagelaran musik, juga diriuhkan oleh pendapat dan polemik yang menyertainya.
Kalau pergantian tahun baru Hijriyah lebih adem, bahkan senyap. Baik dari keriuhan perayaannya, juga sepi dari polemik silang-pendapat atasnya.
Keriuhan pergantian tahun baru Masehi justru lebih seru karena polemiknya. Sebagian dari kita bukan hanya berpendapat atas boleh tidaknya merayakan tahun baru. Bahkan lebih dari itu, banyak yang menghujatnya.
Sudah mafhum dan menjadi kelaziman, dalam rangka menyemarakkan pergantian tahun baru Masehi, kita menyambutnya dengan pesta kembang api, petasan, terompet, dan pagelaran musik.
Tetapi ada sebagian dari kita yang mengharamkannya, dengan dalih bahwa kembang api adalah tradisi Majusi, petasan tradisi Yahudi, dan terompet, lonceng atau semacamnya adalah tradisi Nashrani.
Lalu, perilaku itu dicap sebagai tindakan tasyabuh; perbuatan yang menyerupai suatu golongan yang bisa menyebabkan pelakunya dianggap sebagai bagian dari golongan itu.
Sebaliknya, ketika umat Islam merayakan pergantian tahun baru Hijriyah dengan cara melakukan pawai sembari membawa obor, ya obor, dan itu api, tak sedikit pun merasa bahwa itu merupakan tradisi Majusi!
Maka, beruntunglah kawan-kawan dari kalangan nahdhiyyin yang sudah terbiasa dengan menerapkan prinsip indigenisasi; pengalihrupaan norma agama menjadi lebih sesuai dengan budaya setempat.
Artinya, di satu sisi mereka tidak menganggap bahwa perayaan pergantian tahun Masehi dengan kembang api, petasan, dan terompet sebagai sebuah perilaku tasyabuh.
Sementara di sisi lain, kita dan mereka merayakan pergantian tahun baru Hijriyah dengan pawai obor dan api dimana-mana bukan bermakna bahwa itu tradisi Majusi. Pawai obor adalah tradisi orang Nusantara. Ya, orang Islam di Nusantara. Dan itu kita!
Hanya saja, sebagian dari kita -dan itu jumlahnya banyak- tidak terima bila tradisi seperti itu disebut sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara. Padahal, kedek ngalakonan tapi endung dingaranan.
Kalau jadi, nanti malam tahun berganti. Mari kita sambut dengan gembira. Mari rayakan bersama. Kita pawai bersama kerabat dan tetangga. Jangan lupa bawa obor. Obor Hijriyah!