amalinsani.org. Dikutip dari Femina.co.id (15/2/2022) Wanita di ranah sains adalah minoritas. Wanita duduk di kursi kepresidenan, jauh lebih langka lagi. Ameenah Gurib-Fakim (56) adalah sosok yang berhasil mendobrak keduanya. Wanita pertama yang menjadi Presiden Mauritius -negeri yang terletak di Kepulauan Mascarene, sebelah timur Madagaskar, yang masuk dalam benua Afrika- tersebut membagi pengalaman hidupnya kepada femina dalam wawancara via Skype yang difasilitasi oleh L’Oréal Indonesia.
MENEMUKAN PASSION BARU
Penerima penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) Award di tahun 2007 ini bukanlah orang baru di dunia sains. Wanita yang lahir dan besar di Quatre-Bornes, Mauritius, ini menempuh studinya hingga meraih gelar Ph.D. di jurusan kimia, di University of Surrey dan Exeter University, Inggris.
Sekembalinya ke Mauritius, Ameenah yang menghadapi keterbatasan fasilitas tak bisa meneruskan risetnya di bidang kimia organik. Kenyataan ini tidak lantas membuatnya mati langkah dan pasrah. Panggilan menjadi seorang peneliti yang mengabdikan profesionalismenya bagi kemanusiaan pada akhirnya membawanya menekuni ladang sains baru, ethnopharmacology, sains tentang terapi, penyembuhan, preventif, dan diagnosis penyakit yang berbasis pada keragaman tanaman lokal.
Siapa yang menyangka bahwa passion sebagai peneliti menjadi lebih subur saat berganti haluan menekuni ethnopharmacology.
“Mauritius adalah negeri yang menjadi salah satu titik keragaman hayati terbesar di dunia. Ada sekitar 300-an spesies tanaman yang hanya bisa ditemukan di pulau tersebut,” tutur Ameenah, yang sempat meniti karier di dunia akademisi di University of Mauritius sebelum mendedikasikan kariernya pada dunia riset secara penuh waktu.
Totalitas dan visinya yang besar dalam dunia riset mendorong Ameenah mendirikan CIDP Research & Innovation (Centre International de Développement Pharmaceutique). Pusat riset ini memfokuskan diri pada tumbuhan yang khusus digunakan untuk kosmetik, nutrisi, dan terapi kesehatan.
Pengobatan herba yang menjadi ketertarikan Ameenah sebetulnya telah lama digunakan oleh penduduk Mauritius, terutama pada 20 tahun silam. Beberapa spesies endemik Mauritius yang tak bisa ditemukan di tempat lain, seperti tanaman baobab dan benjoin, ternyata memiliki manfaat tinggi dalam terapi kesehatan maupun untuk keperluan kosmetik.
Ameenah menekankan, riset yang dilakukannya sebetulnya hanyalah untuk memvalidasi khasiat tanaman-tanaman obat tersebut, berdasarkan klaim dari pengobatan tradisional yang sudah dikenal dari mulut ke mulut. “Harus ada kajian ilmiah supaya kita tahu bahwa suatu tanaman memang jelas khasiatnya, aman dan berapa banyak dosis yang dibutuhkan. Kalau itu semua sudah dilakukan, kita punya sarana yang kuat untuk mengurangi tingkat penyebaran penyakit yang banyak mewabah di negara miskin,” tuturnya.
Selain tanaman endemik, ada pula beberapa jenis tanaman yang menjadi fokus penelitiannya, yang banyak tumbuh juga di kawasan Asia. Misalnya peria (pare), yang dipercaya berkhasiat untuk penderita diabetes. “Hipotesis kami, ekstrak peria mampu mengurangi kandungan glukosa dalam darah,” tutur Ameenah, yang pernah menjadi penasihat di International Science Foundation Swedia, dan penasihat untuk penyakt infeksi badan PBB.
Lebih jauh, Ameenah menyesalkan ancaman nyata yang dihadapi keanekaragaman hayati Mauritius. “Dulu Mauritius masih punya banyak hutan. Kini hutan yang tersisa hanya tinggal 2 persen,” sesalnya. Bukan tidak mungkin, satu demi satu spesies itu akan punah. Contoh nyata adalah burung dodo, spesies endemik Mauritius yang kini telah punah.
Ancaman terbesar itu, menurut Prof. Ameenah, terutama datang dari masalah populasi, ekspansi perumahan penduduk, dan aktivitas manusia. “Kini tantangan itu kian bertambah dengan adanya perubahan iklim,” jelasnya.
TERJUN KE POLITIK
“Saya kira ini merupakan kejadian langka, seorang presiden terpilih dengan latar belakang peneliti di laboratorium,” ujar ibu dari Adam dan Imaan ini. Ketika ditanya tentang keputusannya bersedia terjun ke politik hingga mengantarkannya duduk di kursi kepresidenan, ia mengatakan, “Saya tidak pernah memilih politik, tetapi politiklah yang memilih saya.”
Ceritanya, ia dilirik oleh koalisi politik Alliance Lepep, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mauritius, Anerood Jugnauth. “Mereka menginginkan seseorang yang sudah dikenal prestasinya. Mereka ingin figur wanita, yang datang dari latar belakang nonpolitik, yang punya kredibilitas,” ungkap Ameenah, yang mengatakan dirinya sama sekali tak pernah berambisi dengan politik.
Baginya, menyetujui namanya menjadi pemimpin koalisi hanyalah sebuah keputusan yang nothing to lose. Ameenah tak pernah menyangka dirinya terpilih. Sehari sebelum diumumkan, ia bahkan masih bekerja di laboratorium.
Ameenah mengatakan, warga Mauritius merindukan perubahan. Dulu, orang memilih karena kasta dan agama. Untuk pertama kalinya, orang bisa memilih karena partai dan ide-ide yang dibawa. Ameenah yang beragama Islam nyatanya bisa memenangkan pemilu di negeri dengan penduduk muslim hanya 17%.
Mauritius adalah negeri dengan profil yang unik. Ada beragam etnis yang hidup berdampingan, antara lain etnis India, Afrika, Cina, dan bangsa kulit putih asal Eropa. Ia bersyukur, negerinya cukup terbuka terhadap kesetaraan gender di bidang pendidikan maupun tingkat penghasilan yang setara antara pria dan wanita.
Ke depannya, sebagai ilmuwan, ia merasa perlu figur kepemimpinan yang kuat, untuk menciptakan generasi yang menghasilkan peneliti sains berkualitas tinggi. Ia menyayangkan, masih minimnya ilmuwan yang berasal dari Afrika. “Saya berharap bisa menjadi role model bagi generasi muda, terutama para gadis remaja, yang berminat pada sains.”
Ameenah mengakui, wanita di ranah sains jumlahnya masih sangat langka. Hal yang sama juga terjadi di Mauritius. Wanita masih menghadapi adanya diskriminasi berupa tekanan sosial. Misalnya, ia menyebut, ketika seorang wanita peneliti menghabiskan lebih banyak waktu di laboratorium ketimbang di rumah, maka ia dikatakan egois.
“Berbeda ketika seorang pria pulang larut malam dari lab, ia akan dikatakan berdedikasi tinggi. Lagi-lagi, pandangan ini haruslah diubah,” tutur wanita yang gemar berkebun di waktu luangnya, dan memiliki koleksi 200 tanaman bonsai ini (admin)