Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah warga biasa

Sebagai upaya untuk menjaga nasionalisme dan keutuhan NKRI atas niat dan upaya makar mengganti dasar negara Pancasila oleh ideologi lain, serta untuk mengenalkan kepada generasi penerus bangsa akan bahaya komunis, pada medio September lalu Panglima TNI menginstruksikan kepada seluruh jajaran tentara di daerah -Kodam, Kodim, Koramil- untuk menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI.

Atas instruksi itu, bukan hanya jajaran tentara di daerah yang responsif. Bahkan masyarakat sipil turut menyambutnya dengan antusias. Mereka menggelar acara nonton bareng film tersebut, baik yang ditayangkan secara nasional oleh stasiun televisi milik pemerintah maupun swasta, juga atas inisiatif sendiri dengan menggelarnya di ruang publik.

Berbondong mereka datang ke lokasi nonton bareng, yang diadakan oleh organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, bahkan oleh pengurus tingkat RW dan RT.

Pada tayangan film yang disiarkan secara nasional di salah satu stasiun televisi swasta, ada tayangan yang dianggap cukup mengganggu oleh sebagian penonton. Tayangan itu berupa diburamkannya gambar palu arit pada bendera Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gambar itu terdapat pada adegan pertemuan kader dan pengurus PKI saat merumuskan perencanaan menjelang aksi pembunuhan atas para petinggi tentara yang dianggap sebagai anggota Dewan Jenderal.

Banyak penonton yang protes atas diburamkannya lambang PKI itu. Mereka menilai hal itu merupakan siasat pemerintah agar penonton tidak terlalu besar menilai kadar kesalahan PKI. Mereka menganggap pemerintah masih melakukan “pembelaan” atas PKI.

Seolah penayangan film itu hanyalah untuk menggugurkan tuntutan masyarakat, tetapi dengan tetap mengurangi bobot kesalahan PKI. Anggapan ini kemudian dilengkapi dengan bermunculannya meme keesokan harinya. Meme itu berupa gambar perbandingan antara film yang asli dan film yang gambarnya diburamkan.

Bila kita arif, dewasa, dan paham terhadap konteks yang menjadi pertimbangan diburamkannya gambar itu, saya yakin kita tidak serta merta memiliki tuduhan demikian. Maka ada baiknya sebelum menyampaikan tuduhan, respon, tanggapan, komentar, dan statement, kita mengetahui dan paham terlebih dahulu mengapa hal itu terjadi.

Sikap yang lebih parah lagi, kita kadang turut latah mengamini dan menyebar tuduhan yang sejatinya tidak kita ketahui konteksnya.

Penjelasannya begini. Tayangan film itu selain diperuntukkan bagi kita agar mengingat kembali akan sejarah, juga menyasar generasi muda. Mereka merupakan generasi yang belum paham atas duduknya persoalan PKI dan pengkhianatannya atas NKRI.

Berbeda dengan generasi berusia empat puluhan, atau diatas itu yang mengalami langsung peristiwanya, mereka tidak sempat menyaksikan film itu karena sejak tahun 1998 seiring dengan era reformasi, film itu dihentikan penayangannya di televisi.

Usia muda merupakan masa pencarian jatidiri. Pada usia ini rerata belum memiliki pemahaman dan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Sebaliknya, pikiran dan tindakan mereka lebih dimaksudkan untuk menunjukkan jatidiri dan identitas. Jatidiri dan identitas ini diwujudkan dalam bentuk simbol.

Maka tak heran bila generasi seusia mereka dikenal istilah kelompok atau “gank”, berikut dengan logo atau simbol yang mengidentikkan kelompok mereka.

Seperti yang pernah saya (mungkin juga anda) alami juga saat seusia mereka. Saya pernah tergabung dalam satu kelompok dengan logo atau simbol yang terkesan seram dan sangar, sebagai upaya untuk menunjukkan kehebatan.

Biasanya gambar itu berupa tengkorak, golok, clurit, atau darah yang menetes. Bahkan ada diantara kami, ada yang memiliki simbol gank dengan gambar trisula, seperti lambangnya Nazi.

Nah, penayangan gambar palu dan arit yang diburamkan dalam tayangan film itu dimaksudkan agar generasi muda tidak keliru merespon.

Alih-alih penayangan film itu dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat anti komunis dan menjauhi ajarannya, malah sebaliknya; mereka menganggap bahwa simbol itu bagus dan keren. Maksud hati ingin memberitahu bahayanya komunis, apa daya mereka malah terpikat dan simpati atas komunis, hanya karena simbol yang menarik dan karena lekat dengan keseharian mereka.

Hal lain yang diburamkan dalam tayangan film itu adalah gambar rokok dan adegan menghisapnya. Dulu, menghisap rokok merupakan ritual yang dianggap biasa, bahkan terkesan berkelas. Ritual itu bukan hanya di lingkungan rakyat biasa, bahkan di lingkungan tentara dan pemerintahan.

Mengapa demikian? Karena saat itu belum muncul penentangan atas tembakau seperti sekarang. Saat itu belum muncul kesadaran bahwa bahaya merokok itu sangat besar bagi kesehatan.

Sekarang, bukan saja bahwa secara medik diketahui menghisap rokok itu berbahaya bagi kesehatan. Bahkan dari sisi etika dan norma juga bisa turut menakarnya. Buktinya, kini ruang publik untuk menghisap rokok dibatasi. Karena bila dibiarkan bebas, akan berdampak bagi orang yang berada di sekelilingnya.

Kini, menghisap rokok di ruang publik seolah dianggap tabu. Adegan merokok diburamkan baik dalam sinetron, film, berita, dan tayangan yang bisa dilihat oleh publik. Bahkan kini iklan rokok dilarang untuk dipublikasikan.

Kembali lagi ke persoalan simbol palu arit yang diburamkan. Itu bukan dimaksudkan untuk mengaburkan perjalanan sejarah. Bukan pula sebagai cara untuk mengurangi kadar kesalahan PKI dan ajaran komunis.

Tetapi itu lebih pada upaya antisipasi atas munculnya respon yang keliru. Jangan sampai kita –khususnya generasi muda- malah bangga, suka, tertarik, dengan simbol yang bisa jadi mereka anggap keren.

Jangan sampai palu arit dimaknai “gue banget”. Buramnya simbol PKI, semoga menjadi pertanda bahwa masa depan mereka juga buram dan suram. Wallahualam.

Please follow and like us:
fb-share-icon
Tweet 20
fb-share-icon20