Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dalam tradisi umat Islam di Banten Indonesia, memuliakan guru adalah keniscayaan. Ketika orang tua mengantarkan anak berangkat belajar ke pondok menyiapkan dua hal (1) bekal untuk anak dan (2) hadiah untuk guru. Hubungan guru murid tidak terbatas guru dengan anak (peserta didik). Tapi juga guru dengan orang tua/wali murid. Semua menyatu menjadi keluarga besar. Ada guru yang mengajar. Murid yang belajar. Juga orang tua/wali murid yang mencintai ilmu dan guru yang mengajarkan ilmu. Hal ini berlaku juga untuk pemimpin yang menguasai wilayah tersebut.
Dalam sejarah Islam, tersebutlah nama Fakhruddin al-Arsabandi. Beliau adalah ulama yang disegani oleh penguasa dan sangat populer di kalangan masyarakat. Beliau mengungkap sebuah rahasia bahwa Aku mendapatkan kedudukan yang mulia ini karena berkhidmat (melayani) guruku
Penghormatan dan pengabdian beliau kepada gurunya, yakni Imam Abu Zaid ad-Dabbusi digambarkan bak seorang budak kepada majikan. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi makanan yang disajikannya. Fakhruddin al-Arsabandi benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ali bin Abi Thalib RA: Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya.
Imam Syafi’i pernah membuat rekannya terkagum-kagum karena tiba-tiba saja ia mencium tangan dan memeluk seorang lelaki tua. Para sahabatnya bertanya-tanya, “Mengapa seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih banyak ulama yang lebih pantas dicium tangannya daripada dia?” Imam Syafi’i menjawab, “Dulu aku pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab, “Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh.”
Imam Syafi’i sangat menghormati gurunya dan tak pernah lupa dengan secuil ilmu yang diajarkan. Sikap hormat inilah yang menjadi salah satu faktor yang menghantarkan seorang Syafi’i menjadi imam besar.
Begitulah cara orang-orang terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya. Mencintai ilmu berarti mencintai guru yang menjadi sumber ilmu. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didapatkan oleh si murid. Tanpa guru tidak pernah ada peradaban ilmu.
SD Al Qur’an Amirul Mukminin Pesantren Madinatul Ma’arif Ragas Grenyang berusaha menghidupkan dan mengembangkan pelajaran adab itu dalam masyarakat kita sekarang. Relasi guru murid maupun guru orang tua/wali murid ibarat kafilah ruhani yang bergerak bersama menuju ridho Allah. Murid hormat kepada guru yang mengajarkan membaca dan menulis. Orang tua/wali murid berterima kasih dengan membalas kebaikan guru yang telah mengajarkan anaknya mengenal Allah dan syariat-Nya melalui Alquran, sunnah Nabi, dan kitab warisan khazanah intelektual Islam lainnya.
Membalas kebaikan guru merupakan suatu kewajiban bagi murid dan orang tua/wali murid, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS al-Qashash [22]: 77).
Seorang murid harus berpikir, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan guru merupakan pahala yang tak pernah putus di sisi Allah. Ia akan terus mengalir kepada si guru selama ilmu tersebut terus diajarkan dan diamalkan. Itulah kewajiban si murid untuk mengembangkannya dan kemudian mengamalkannya. Agar si guru yang pernah mengajarkannya mendapatkan ganjaran pahala yang terus mengalir di sisi Allah. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Founder SDQ Amirul Mukminin dan Sekjen FSPP Banten
Tinggalkan Balasan