Ketika Muhasabah Dimaknai Cemooh

Sejatinya, agama dan Tuhan tak perlu dibela oleh penganutnya. Mengapa? Karena dengan kuasaNya, Tuhan sendiri mampu menjaganya. Ini cara pandang transcendent.

Ketika suatu agama dianut oleh seseorang, selain dia terikat dengan ajaran agama yang dianutnya, ia juga punya tanggung jawab untuk mendakwahkan dan menjaganya. Ini cara pandang immanent.

Karena pada akhirnya yang transcendent menjadi immanent, maka walaupun Tuhan sudah “menggaransi” kemuliaan firmanNya, tetap saja muncul pada setiap penganut agama untuk melakukan pembelaan atas agamanya.

Pembelaan atas ajaran agama yang dianut, pastinya dilatari oleh keyakinan seseorang atas kebenaran dan benarnya ajaran yang dia peluk. Naluri ini, ada pada tiap umat beragama.

Adalah wajar ketika seorang penganut suatu agama membela agamanya. Adalah jarang, bahkan hampir tidak mungkin, seorang penganut agama melakukan pembelaan atas agama lain.

Bila seorang penganut suatu agama lantas melakukan pembelaan atas agama lain, selain menunjukkan kadar “loyalitasnya” pada agama sendiri tidak kaffah, juga bisa dianggap sebagai pengkhianat. Terminology yang popular untuk menyematkan stigma atas sikap ini adalah munafik.

Saya sepakat, bahwa kita punya tanggung jawab dan kewajiban dalam membela dan memuliakan agama. Pembelaan dan pemuliaan atas kebenaran. Melakukannya karena benar.

Rasio merupakan alat ukur benar yang dianut oleh seluruh umat beragama. Bahkan oleh seluruh umat manusia. Bahwa rasio bukan satu-satunya sebagai alat ukur “benar”, saya sepakat.

Iman pun bisa menjadi alat ukur benar. Tapi ia hanya benar pada agama tertentu. Tidak pada agama lain. Mengapa? Karena agama lain pun punya iman dengan versi berbeda. Menakar sebuah “benar” dengan iman adalah subjektif.

Ajaran agama itu paripurna. Ia merupakan serangkaian rumusan suci tanpa cela. Teori ideal sebagai pedoman hidup bagi penganutnya. Persoalannya, kerap terjadi disparities atau kesenjangan antara yang ideal dengan pelaksanaannya.

Islam dan muslim itu beda. Islam itu ideal. Karena ia merupakan serangkaian firman Allah Yang Maha Benar. Juga serangkaian petuah dan teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dibawah arahan langsung Allah SWT.

Sementara muslim, yang adalah manusia biasa, tidak seideal panutannya. Muslim yang tidak mashum ini, terbuka celah untuk berbuat salah. Islamnya begitu, muslimnya begini. Inilah disparities antara Islam dan muslim.

Dengan begitu, walaupun seiman, walaupun seagama, ketika berbuat salah, tidak lantas menjadi -tetap- benar. Alat ukur atas perilaku salah itu adalah rasio, bukan iman. Dan rasio ini, juga dimiliki oleh penganut agama lain.

Maka tak jarang, seorang muslim memiliki cara pandang yang sama dengan cara pandang non muslim. Bukan iman yang mempertemukan mereka. Tapi rasio, atau logika.

Dalam Islam ada prinsip mendasar yang mengatur perkara benar dan salah, yaitu “qulil haq walau kaana murran”. Katakan yang benar walau terasa pahit. Selama itu benar, kita bela. Siapapun. Baik non muslim, apalagi muslim.

Sebaliknya, ketika salah, tak lantas membuat kita menutup mata hanya semata itu dilakukan oleh orang seiman, lalu sibuk mencari pembenaran. Mengakui secara jantan atas kesalahan, itulah wujud otokritik. Itulah wujud muhasabah.

Muhasabah itu, mengevaluasi, menilai, dan melakukan kritik atas diri sendiri. Muhasabah bisa menjadi media bagi perbaikan diri. Dengan muhasabah, kita bisa belajar dari pengalaman, untuk bisa lebih baik pada kehidupan mendatang.

Pada proses muhasabah ini, kita korek kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Bagi yang tidak siap, pada tahap inilah kerap dimaknai sebagai cemooh. Yang dilakukan adalah sebuah otokritik, tapi dimaknai sebagai olok-olok atas agama sendiri.

Sebaliknya, ketika kita memiliki cara pandang yang sama dengan penganut agama lain -dan itu dimungkinkan karena bertemu dalam “poros logika” yang tidak tersekat perbedaan iman- atas sebuah perkara, lantas dimaknai membela “orang lain”.

Cara pandang ini, selain sesat pikir, juga kontradiktif dengan prinsip “qulil haq walau kaana murran”. Masa iya sih, “selama seiman, walau salah tetap dibenarkan, dan sebaliknya, selama beda iman, walau benar, tetap disalahkan”? Muehehe..

Jadi, muhasabah itu bukan cemooh atas agama sendiri. Tetapi ia sebagai perwujudan firman Allah SWT dalam kitab suci, yang bernada tantangan pada kita lewat ayat-ayat dengan akhiran “afala tadabbarun, afala tatafakkarun, afala ta’qilun, dan afala-afala lainnya”.

Mari bela agama dengan cara mulia dan argumentatif. Bela (juga) dengan rasio dan logika. Bukan membela semata dengan iman. Apalagi membela bermodal otot! Wallahualam.

Sruput dulu kopinya, selain karena kafein (semoga) bisa meningkatkan imun, juga agar komentar anda yang tak sepakat dengan “celoteh” diatas tetap terukur, terarah, dan bukan serapah yang membuncah!

Penulis: Ocit Abdurrosyid Siddiqpenulis adalah warga biasa

Please follow and like us:
fb-share-icon
Tweet 20
fb-share-icon20

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *