Dosen Ambidextrous di Kampus Merdeka

Avatar admin
Dosen Ambidextrous di Kampus Merdeka

Oleh : Babay Suhendri
Direktur Vokasi Universitas Primagraha

Baru saja saya dan tim menyelesaikan Akreditasi Program Studi Manajamen Administrasi pada Program Vokasi Universitas Primagraha, Kampus di mana saya bekerja.

Ada standar penilaian yang berubah. Salah satunya adalah kompetensi pendidik atau dosen. 

Masih hangat dalam ingatan pada pertanyaan Kompetensi Dosen, “Selain di Kampus ini, apakah anda ada aktifitas lain di luar kampus..?” demikian pertanyaan Prof. Mohammad Rizan, Assesor yang berbasis di UNJ.

Sebagai Dosen Tetap Universitas saya menjawab normatif  “tak ada tempat lain selain di kampus ini..”

Belakangan, saat evaluasi akhir, Prof. Rizan memberikan tanggapan tentang Dosen di Kampus Merdeka. Dosen boleh berkiprah di luar kampus bahkan menjadi dosen tamu di kampus lain. Lebih detil Ia menjelaskan bahwa aktifitas Dosen tak mesti berbasis akademik. Bahkan Dosen boleh berwirausaha.

Aktifitas semacam ini sebetulnya sudah saya jalankan separuh hidup saya. Bagaimana saya menjalankan usaha waralaba, mengelola lembaga pendidikan dan dalam waktu bersamaan saya memiliki jadwal mengajar dan praktikum  TIK di Sekolah Menengah Atas. Di akhir pekan saya mengajar Desain Grafis di sebuah Politeknik. 

Lalu, hari-hari saya penuhi dengan banyak berorganisasi dan larut dalam aktifitas kemasyarakatan. Pengabdian dimana-mana, dari tingkat RT hingga Kementerian. Nyaris tak ada waktu untuk sekedar tidur siang.

Saat bertatap muka dengan mahasiswa, pengalaman di luar kampus ini menjadi motivasi menakjubkan. Saya berusaha menjadi inspirasi dengan pengalaman hidup. Bukan story telling berbasis buku teks. 

Saat memberikan kuliah kewirausahaan misalnya, mahasiswa yang kritis akan bertanya. “Pengalaman apa yang bisa ditularkan kepada kami?” tentu saya menjawab dengan pengalaman kecil yang saya alami. Pada kelas vokasi, saya berikan tips, trik  dan teknik yang saya kuasai. Saya merasa cara ini lebih bermakna.

Dalam tulisan ini, bukan menceritakan soal pengalaman pribadi. Tapi lebih kepada bagaimana ke depan kampus membuka ruang terhadap pengembangan potensi dosen. Memberikan keleluasaan setiap dosen untuk meningkatkan kompetensi personalnya melalui berbagai jenjang pendidikan dan pelatihan, bergabung dengan berbagai forum atau organisasi. Melakukan berbagai penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, bahkan berafiliasi dengan partai politik seharusnya bukanlah hal tabu. Karena pengalaman dosen adalah laboratorium kehidupan bagi mahasiswa yang diajarnya.

Kampus merdeka dengan cara merdeka belajar adalah instrumen yang disediakan negara untuk memberikan keluasan terhadap dosen. Karena dosen adalah ujung tombak atau agen perubahan bagi mahasiswa. Ia adalah seorang pelatih atau pemandu bakat agar mahasiswa mampu mengoptimalkan potensi dirinya bahkan mengantarkan kepada puncak pencapaian hidupnya.

Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada Kabinet Indonesia Maju melalui kebijakan Kampus Merdeka, menitipkan harapan bagi dunia pendidikan di masa mendatang. Bahwa mahasiswa lebih bebas menentukan rangkaian pembelajaran mereka, sehingga tercipta budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman yang berharga untuk diterapkan. ”Inilah pendidikan yang problem focused, yang akan secara langsung menguatkan karakter.”
 
Menurut Sofwan Effendi, Direktur Sumberdaya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Kegiatan Kampus Merdeka memperluas pilihan kegiatan bagi mahasiswa dan dosen untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagi dosen sendiri, terdapat dua keuntungan yaitu memiliki kompetensi yang didapatkan di luar kampusnya dan mendapatkan kredit poin bagi peningkatan karirnya.

Tak banyak yang kita temukan dengan hanya berkutat di kampus. Sementara tugas dosen sangat berat, membuka cakrawala pengetahuan dan kompetensi, menyiapkan mahasiswa agar bisa hidup di jamannya.

Hari ini mahasiswa dituntut memiliki wawasan global, memiliki keterampilan berkreasi dan berinovasi, menguasai teknologi dan keterampilan interpersonal. Dibutuhkan banyak keterampilan agar mahasiswa mampu mengisi peluang pekerjaan di masa depan.  Setidaknya ada 15 skill yang dibutuhkan di dunia kerja pada 2025 menurut World Economic Forum:

Berfikir analitis dan inovasi

Pembelajaran aktif dan strategi pembelajaran

Pemecahan masalah yang kompleks

Pemikiran kritis dan analisis

Kreativitas, orisinalitas, dan inisiatif

Kepemimpinan dan pengaruh sosial

Penggunaan teknologi, pemantauan dan pengendalian

Desain teknologi dan pemrograman

Ketahanan, toleransi stres dan fleksibilitas

Penalaran, pemecahan masalah dan gagasan

Kecerdasan emosional

Pemecahan masalah dan pengalaman pengguna

Orientasi layanan

Analisis dan evaluasi sistem

Persuasi dan negosiasi

Bila melihat banyaknya ilmu pengetahuan keterampilan dan teknik yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk melampaui masa depan mereka tentu ini tidak mungkin ditansfer begitu saja oleh dosen biasa.  Selain itu tak cukup waktu ditempuh hanya 140an SKS. Butuh waktu panjang dan proses pembelajaran yang tidak monoton dan kaku.

Lebih penting juga sebagai jaminan seharusnya skill tersebut dikuasai lebih dahulu oleh Dosen. Hal ini dikatakan oleh Nadiem Makarim bahwa merdeka belajar dan kemerdekaan berfikir harus dimulai dari guru (dosen) sebelum mengajarkannya kepada siswa. 

Oleh karena itu di tengah derasnya gelombang perubahan, dosen atau umumnya pendidik harus memiliki kemampuan multitasking. Yaitu kemampuan mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan. Tuntutan ini dipicu oleh kompetisi yang semakin ketat. Kehidupan yang cepat berubah (Volatility),  penuh ketidakpastian (uncertainty), kompleks (complexity) dan membingungkan (ambiguity) akibat kehadiran teknologi yang terus menggeser peranan manusia secara radikal.

Kemampuan multitasking juga dipicu oleh model organisasi pada berbagai instansi atau institusi. Strukturnya saat ini menjadi semakin datar. Banyak pekerjaan yang hilang tergantikan oleh mesin sehingga tak butuh banyak orang, jumlahnya semakin ringkas karena organisasi membutuhkan keputusan yang cepat agar bisa melampaui persaingan.

Tak hanya kemampuan multitasking, Dosen juga harus memiliki kemampuan Ambidextrous, yaitu kemampuan bekerja dengan tangan kiri sama baik dengan tangan kanannya. 

Menurut Faris Alghamdi dalam Journal of Innovation and Entrepreneurship (2018), untuk menjadi ambidextrous, seseorang harus bisa eksploratif dan eksploitatif secara bersamaan dalam jumlah yang sama. 

Aktivitas eksploitatif termasuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan saat ini untuk melakukan perbaikan jangka pendek terhadap efisiensi dan efektivitas. 

Di sisi lain, kegiatan eksplorasi terdiri dari perilaku seperti mencari produk baru dan inovasi proses serta solusi dan perilaku kompetitif. Itu menuntut seseorang untuk mempelajari keterampilan atau pengetahuan baru dan menyesuaikan rutinitas saat ini. 

Eksploitasi dan eksplorasi adalah aktivitas yang berhubungan dengan pembelajaran. Ambidexteritas pada seesorang adalah konstruksi multidimensi yang mengacu pada orientasi perilaku untuk menggabungkan aktivitas terkait eksploitasi dan eksplorasi dalam periode waktu tertentu (Caniëls Veld 2016; Kang and Snell 2009; Gibson dan Birkinshaw 2004). 

Singkatnya Ambidexteritas pada dosen adalah kemampuan mengoptimalkan semua potensi dirinya dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pendidik. Dalam konteks kemampuan di bidang IT misalnya, bisa mengetik dan presentasi saja tak cukup. Dosen harus bisa mengoperasikan berbagai jenis aplikasi dalam satu gawai. Atau pandai juga mengoperasikan mesin penunjang pekerjaannya. 

Ambidexteritas pada dosen artinya menunjukkan kemamampuan yang seimbang misalnya dalam menjalankan kehidupan kampus, diimbangi juga dengan kehidupan sosialnya.

Ibarat pelaut ulung tak ada yang lahir dari lautan yang teduh. Begitupun dosen yang kompeten lahir dari gelanggang pendidikan, penelitian dan arena pengabdian yang luas. Puluhan, ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang ia hadapi adalah manusia yang dibekali Rahmat Tuhan berupa bakat terpendam. Dosenlah seharusnya yang piawai membangkitkannya. Setidaknya Ia pandai memantik inspirasi melalui jejak dan pergulatan proses yang pernah ia jalani. (BSN) [*]

Please follow and like us:
fb-share-icon
Tweet 20
fb-share-icon20

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
WhatsApp