Oleh Gol A Gong *)
Ribut-ribut soal ranking minat membaca dan menulis di Indonesia yang rendah, di Banten sejak jadi provinsi (2000) justru mengalami peningkatan. Penulis merasakan itu karena terlibat di dalamnya.
Penulis bersama Toto ST Radik, Rys Revolta (alm), Andi Suhud Trisnahadi, dan Maulana Wahid Fauzi bersama Cipta Muda Banten sejak 1990 “door to door” ke sekolah-sekolah di Banten mengampanyekan budaya baca dan tulis. Kami menginginkan Banten meneruskan tradisi menulis yang sudah dicontohkan Multatuli (1820-1887), Sheikh Nawawi al-Bantani (1813-1847), dan Husein Djayadiningrat (1886-1960). Berkat ketiga nama tersebut, Banten dikenal di dunia literasi.
Kami menerbitkan tabloid Banten Pos, penerbitan khusus untuk pelajar dan mahasiswa. Saat itu penulis merasakan keterlibatan Pemerintah Daerah sejak 1990 hingga sekarang kurang terhadap dunia literasi. Apalagi penghargaan kepada para pegiat literasinya. Perlakuan Pemda kepada kami waktu itu, seolah kami ini kelompok “radikal” yang harus dihentikan. Dan memang aktivitas literasi kami distop dengan cara paksa karena persoalan status quo.
Semua orang Indonesia gelisah dengan imej bahwa Indonesia sangat rendah minat bacanya. Pemerintah tidak tinggal diam. Segala upaya dilakukan termasuk bermitra dengan Komunitas Literasi di Indonesia. Ada 5 Komunitas Literasi yang secara massif menggelorakan Kampanyekan baca dan tulis. Pertama GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca) yang bermitra dengan Perpusnas sejak 2001. Kedua Forum Taman Bacaan Masyarakat bermitra dengan Kemdikbud RI sejak 2005. Forum Lingkar Pena sejak 1998 dan focus di menulis. Komunitas 1001 Buku yang secara indipenden fokus di hibah buku. Terakhir Pustaka Bergerak, membuka lapak-lapak buku di areal publik menggunakan sepeda, motor, perahu, hingga kuda.
Ada 2 orang Banten menduduki posisi penting di 5 organisasi Literasi itu. Penulis pernah jadi Ketua Umum Forum TBM periode 2010-2015 dan diteruskan oleh Firman Venayaksa 2015-2020. Hingga sekarang penulis sebagai penasihat di Forum TBM, FLP, dan GPMB.
Selain bermitra dengan Komunitas Literasi, Pemerintah RI serius menangani persoalan literasi di negeri ini. Undang-undang No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dibuat. Turunannya melalui Peraturan Pemerintah no 75 Tahun 2019 sudah diterbitkan. Semuanya agar masyarakat Indonesia jadi bangsa yang maju lewat bukunya.
- Sudah menggelinding ke tahun keempat, UU Perbukuan direspon dingin oleh para pemangku kebijakan di daerah. Belum ada satupun provinsi membuat Peraturan Daerah Perbukuan. Provinsi dan DPRD Banten harus jadi yang pertama di Indonesia dalam membuat Perda. Apalagi IKAPI Banten yang terbentuk 17 Mei 2017 bekerja sama dengan IKAPI Pusat akan menggelar Hari Buku Nasional yang pertama di Indonesia pada 20-25 Mei 2021 di Untirta Sindang Sari, Kabupaten Serang.
Penulis rasa anggota dewan terhormat di DPRD Banten sudah harus berperan aktif. Jika tidak, anggota dewan harus malu kepada Wong Banten yang mendambakan ekosistem perbukuan di Banten berjalan sehat dan bernilai ekonomis.
Penulis akan membeberkan sederet prestasi tingkat nasional dari para pegiat literasi di Banten. Toto ST Radik menembus nasional dengan buku puisi “Indonesia Setengah Tiang” (1998). Setelah itu vakum.
Menyambut terbentuknya Provinsi Banten, penulis bersama Tias Tatanka, Toto, Andi, Uzi, Malik, Firman dan para relawan membangun komunitas literasi Rumah Dunia (2000) yang kemudian jadi pusat literasi di Indonesia. Kemdikbud RI mendaulat Rumah Dunia sebagai percontohan (role model) komunitas literasi atau taman bacaan masyarakat.
Kami membuka Kelas Menulis Rumah Dunia (2002). Kemudian bermunculan generasi baru penulis Banten. Dimulai dari Endang Rukmana (2004) dan Yuanita Utami (2005), menyabet UNICEF Award for Indonesia Young Writer. Adkhilni M. Sidqi juara lomba esai Kemenpora. Rahmat Heldy Hs jadi Instruktur Literasi Nasional, Abdul Salam dengan Penghargaan Sastra dari Badan Bahasa. Diteruskan oleh Ade Ubaidil yang merambah TV dan Ubud Writers Festival (2017). Puncaknya Niduparas Erlang dengan novel “Burung Kayu” menyabet KLA Award (2020).
Sedangkan penulis selain sudah menulis 125 buku, ada 6 award literasi dari Kemdikbud RI, Perpusnas RI, Majalah Horison, Balai Pustaka, Radio Elshinta, dan Provider XL penulis terima. Penulis juga termasuk di kategori sedikit penulis novel best seller di Indonesia yang juga difilmkan. Pada 2015, penulis bersama 70 penulis Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. Penulis mendapat kesempatan memaparkan “Rumah Dunia: Spirit Banten Untuk Nusantara” . Akhir tahun 2021, film Balada Si Roy yang diadaptasi dari novel karya penulis akan tayang di seluruh bioskop Indonesia.
*.
Banten sebelah Barat menggeliat mengejar ketertinggalannya dari Tangerang (Jakarta sentris). Harus diakui, Rumah Dunia menjadi episentrum literasi di Banten, bahkan Indonesia sepanjang 2000-sekarang. Semua penulis ternama Indonesia datang membagikan ilmu menulisnya di Rumah Dunia.
Kemudian berlahiranlah penulis hebat dan Komunitas Literasi di Banten. Wan Anwar membangun Cafe Ide dan Balistra di Untirta. Berbagai agenda literasi bertaraf nasional dan internasional digelar. Rumah Dunia tentu jadi pelopor secara swadaya seperti kegiatan “Ode Kampung” dan “World Book Day” yang hanya bisa disaingi oleh Festival Multatuli (APBN/APBD) di Lebak.
Ekosistem Perbukuan juga dibangun dan dikembangkan. Saat Pjs Gubernur Banten dilantik di Gedong Negara (2000), di Islamic Center, Penerbit Suhud Media Promo menancapkan “Banten Membaca” dengan peluncuran novel best seller karya penulis yang berjudul “Pada-Mu Aku Bersimpuh”, kemudian di sinetronkan RCTI (2002). Setelah itu Penerbit Sengpho (Khatib Mansur) muncul. Juga Gong Publishing (2008).
- Dengan sederet kegiatan literasi dan prestasi para penulis Banten yang menasional , akankan Pemprov dan DPRD Banten “ongkang-ongkang kaki” terus. Kesan bahwa mereka peduli pada dunia literasi pernah dimunculkan, tapi itu untuk kepentingan politik dan pencitraan saja.
Padahal di pasal 39 UU Perbukuan Nomor 3/2017 dan PP Nomor 75/2019, Pemerintah Daerah dan DPRD bertanggung jawab dengan persoalan ekosistem perbukuan. Kita berharap pejabat di provinsi dan anggota DPRD menjalankan fungsi dan kewajibannya membuat Perda Sistem Perbukuan di Banten.
Mereka harus bertanggung jawab memikirkan nasib dunia literasi secara luas; mulai dari penulis, penerbit, toko buku, percetakan, kualitas bukunya, dan meningkatkan budaya membaca dan menulis masyarakatnya.
Jika Perda terlalu lama, Pergub bisa disiasati. Walaupun instan tetapi itu yang dibutuhkan oleh masyarakat Banten yang ingin maju. Harus diingat pada 2006, Banten yang imejnya santet, pelet, dan jawara diimbangi dengan Rekor MURI dalam hibah buku. Rumah Dunia bersama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan berhasil mengumpulkan 21.000 buku, memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang Universitas Binus, Jakarta. Puluhan ribu buku itu oleh Forum TBM Banten disebar ke taman bacaan se-Banten.
Nah, kalau tidak ingin mendapatkan malu, Pemrov dan DPRD Banten segera menyiapkan pembuatan Perda atau Pergub Sistem Perbukuan. Belanda keburu datang nanti, Boss!
*
*) Rumah Dunia, 5.4.2021
*) Penulis adalah penulis dan Instruktur Literasi Nasional
*) Dipaparkan di Royal Cilegon Hotel, Sosialisasikan Perda Sistem Perbukuan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Rabu 7 April 2021