Serang, amalinsani.org – Maut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kematian (terutama tentang manusia). Maut adalah kembalinya ruh ke sisi Allah SWT dan keluar dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Pemahaman kita sebagai manusia awam bahwa maut adalah sebagai hilangnya fungsi indra, punahnya kemampuan beraktivitas dan lenyapnya kehidupan (fisik).
Dalam kajian sufisme, maut merupakan sesuatu yang haq, yaitu sesuatu yang benar-benar akan terjadi. “Kullu nafsin żā`iqatul-maụt” (Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian). Saat kematian adalah saat semua manusia kembali kepada Allah SWT sekaligus saat penggiringan setiap makhluk ke sisi-Nya.
Namanya Bahroh putri dari pasangan Misbah dan Fathonah. Sebenarnya bukan putri pertama dari pasangan orang tua tersebut di atas, namun karena kakaknya meninggal saat masih kecil, kami menganggapnya Bahroh sebagai kakak pertama kami. Di samping itu perannya yang begitu sentral dalam membantu Abah (ayah) dalam membesarkan dan mendidik adik-adiknya yang menganggapnya sebagai tulang punggung kedua dalam keluarga kami.
Hidupnya jauh dari kesan mewah dengan bahasa lain sangat sederhana dibanding dengan wanita seusianya. Waktunya mudanya dihabiskan untuk berjualan di “empang” untuk membantu pendidikan adik-adiknya. Empang adalah sejenis tambak berisi berbagai jenis ikan dan udang sebagai mata pencaharian penduduk setempat, selain sawah atau perkebunan. Letaknya berpuluh-puluh kilometer dari perumahan penduduk. Almarhumah berjalan kaki dalam menjajakan barang dagangannya. Biasanya berangkat pagi dan pulang menjelang Magrib, bahkan tidak jarang menemukannya pulang di waktu Isya. Pekerjaan ini dia lakukan setiap hari tanpa mengenal libur. Beliau kerjakan tanpa keluh kesah. Saat pulang, Beliau selalu memeluk kami, adik-adiknya dengan dekapan hangat sambil kemudian membuka bakul sebagai tempat barang dagangannya. Sambil mendekap erat Penulis, maklum Penulis adalah adik bungsunya “Teh Bahroh” membuka bakul yang masih tertutup plastik atau kertas koran dengan tangannya yang terlihat masih gemetar karena menahan lelah.
Setelah dilihatnya ada makanan sisa dagangan atau membelinya dari pedagang lain yang ditemuinya di jalan, Almarhumah membagikan kepada adik-adiknya. Kulihat senyum mengembang di sela kerut dahinya yang masih memerah karena terpaan matahari sepanjang hari saat berjualan di empang.
Bahroh hanya sampai menamatkan pendidikan tingkat dasar (SD). Masa remajanya tidak semulus teman-temannya yang hari-harinya bisa berkumpul bersama kedua orang tua dan adik-adiknya. Dia menggendong bakul yang berisi barang dagangan (nasi, lauk, kolek, goreng pisang, roti, snack, kopi, gula, dll.) seberat 10 – 15 kg. Tidak hanya bakul bahkan di samping menggendong, dia juga sambil menjinjing termos. Dan sekali lagi semua itu dia lakukan tanpa keluh-kesah. Baginya masa depan adik-adiknya jauh lebih penting daripada jiwa-raganya.
Menganggap orang lain lebih penting dari dirinya (dalam kajian sufisme dikenal dengan altruisme) sebagian ulama tidak membenarkan karena berpedoman pada ayat “quu anfusakum wa ahlikum nara” (jagalah/lindungi dirimu dan keluargamu dari api neraka). Maksud penafsiran ayat tersebut adalah bahwa menolong orang itu bisa dilakukan apabila dirinya sudah selamat. Namun bagi Bahroh, mungkin karena keterbatasan pengetahuannya hal tersebut tidak terpikir. Beliau hanya berpikir bagaimana caranya supaya adik-adik tidak seperti dirinya.
Dari jerih-payah yang dia lakukan, akhirnya tercapailah apa yang dia harapkan. Adik-adiknya kini menjadi orang yang berhasil. Ada yang menjadi Kepala Dinas di salah satu instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Serang (H. A. Syaefudin), dosen dan peneliti di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Dan Alhamdulillah, saya sendiri sebagai penulis meski amatir namun tetap bersyukur.
Sosok Almarhumah?
Almarhumah menurut masyarakat sekitarnya adalah sosok “pemberani”. Berani yang terkadang tidak terkontrol. Terkadang sikapnya seperti lelaki. Dia mudah terpancing, apabila mendengar laporan yang menyudutkan adik-adiknya. Dia tidak akan marah jika mendengar bahasa yang mengejeknya. Namun jika mendengar salah satu adiknya dilecehkan, dia akan marah besar. Kemarahan yang tidak terkontrol.
Di sisi lain, Ibu Latifah seorang tetangga sekaligus masih saudaranya pernah bercerita “Teh Bahroh mah wonge mah wanten ning omongan, tapi wonge mah lamis. Namun setiap ana wong lewat ning arepane umahe pasti diampiraken. Lan wonge murah tangan. Doyan ngegegai, embuh deweke ulih apa-apa gah. Menai dipadangaken kuburane!.” (Teh Bahroh itu “pemberani” dalam berbicara dan bersikap, tapi orangnya supel. Kalau ada orang yang lewat di depan rumahnya pasti diminta singgah. Kemudian orangnya ringan tangan. Dia suka memberi (apa yang ada di tangannya), entah itu barang yang diberikan dapat apa. Semoga dilapangkan menuju surga-Nya!)
Syihabuddin, sang adik yang menjadi dosen dan peneliti, mengatakan:
“Sehari teh Bahroh berpulang ke Rahmatullah, saya sebagai adik almarhumah, merasakan kesedihan yang mendalam, wanita yang tidak menikmati kebahagiaan duniawi, sejak kecil sudah bekerja kuli nutu, tandur di sawah, jualan keliling empang berkilo kilo meter di tengah panasnya matahari dan hujan lebat diiringi bergelegarnya petir. Semua itu tdk menjadi halangan buat almarhumah. Yang ada dipikiran dan hatinya yang penting Allah SWT memberi rizki untuk memberikan makan dan kebutuhan adik-adiknya yang masih kecil dan butuh biaya sekolah.” ungkapnya
“Almarhumah sejak saya kecil sampai meninggal belum pernah berpakaian bagus, makan pun seadanya. Namun jika adik-adiknya datang manja beliau selalu menyediakan makan yang nikmat kesukaan adik-adiknya. Wajahnya berseri ketika adik dan istrinya menikmati makan yang beliau buatkan, almarhum juga sangat gembira ketika adik-adiknya serta ponakannya meraih sukses.” ujar Syihabuddin
Jika ada ikan segar beliau membeli kadang juga dapat hutang, lamun ikan dimasak dan dibawa ke Serang untuk dinikmati adik bersama isteri dan anaknya, lagi-lagi beliau tersenyum di tengah lahapnya masakan yang beliau buat. Mendengar adiknya sakit, langsung beliau nengok dan membawa jamu untuk obat, tampak wajahnya sedikit dan berlinang air mata.
Sementara jika beliau yang sakit tidak pernah mengeluh di depan adik-adiknya. Rasa sakit beliau tertutupi dgn keceriaan dan cerita ponakannya yang mulai tumbuh dewasa.
Di tengah kekurangan, almarhamah adalah sosok teteh yang hebat, sangat menyayangi adik-adiknya, anak dan cucunya serta ponakannya.
Sebagai adik, saya belum bisa membalas kebaikan dan pengorbanan beliau.
Hanya memohon semoga saudara2ku mema’afkan atas kesalahan dan kealpaan beliau. Ya Allah ampunilah atas dosa-dosa almarhumah, dan tempatkan almarhumah ke Syurga bersama hamba yang dicintai Allah S.W.T dan Rasulullah s.a.w.🙏🏻”
Sementara menurut Salman Ibadurrahman, keponakan Almarhumah sekaligus anak pertama Penulis mengenang sosok Almarhumah sebagai sosok penyayang bagi dirinya dan adik-adiknya.
“Ibuwa itu orangnya baik, suka ngasih jajan, suka nyium, suka meluk. Dan kalau ke rumah suka bawa beras, pepes ikan, kue, dan buah-buahan.” ungkapnya memberi kesaksian
Tapi sekarang semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi suara orang yang menyuruh mampir, tak ada lagi orang yang mengajak saudara-saudaranya untuk berkunjung ke saudara yang lainnya, tidak ada lagi orang yang membawakan beras, pepes ikan, kue dan buah-buahan. Dan tidak lagi yang mencium, memeluk buah hatiku. Sosok wanita tangguh itu kini telah pergi meninggalkan kita semua. Sosok wanita tangguh itu kini telah menghadap Rabb-nya. Semoga Allah S.W.T. Mengampuni dan memberi kesejahteraan kepadanya!
Allahummaghfirlaha warhamha wa ‘afihi wa’fu’anha’
Penulis: Endang Yusro
Pengurus ICMI Orwil Banten; Dosen STIT Serang, Kepala SMA-IT Bait et- Tauhied Kota Serang